Tuesday, December 30, 2008

lowongan kerja

ada empat lowongan kerja dengan jenis pekeraan berbeda yang aku lingkari. Ke-empat lowongan tersebut adalah sales, penjaga warnet, penjaga toko kue dan waitress. Meski berbeda jenis pekerjaan namun ke-empatnya memiliki satu kesamaan yaitu menyediakan mess atau tempat tinggal.
Tempat tinggal, itulah hal yang paling kubutuhkan saat ini. Aku baru datang dari kampungku kemarin pagi dengan uang seratus lima puluh ribu. Sementara kost di Jakarta paling murah tiga ratus ribu. Karena itulah aku tertarik dengan ke-empat lowongan tersebut dan kalau bisa yang langsung kerja mengingat minimnya keuanganku.
Saat ini aku ikut temanku. Temanku ini tinggal bersama pacarnya. Baru satu malam menumpang saja,membuatku tak sanggup melewatkan malam keduaku bersamanya. Aku risih dengan kemesraan yang merekaa perlihatkan.Mungkin juga iri. Entahlah.
Jam enam pagi saat temanku dan pacarnya masih tidur nyenyak aku sudah siap melamar kerja. Rencanaku mendatangi langsung ake-empat lowongan kerja tersebut. Karenanya aku harus berangkat pagi-pagi supaya bisa menjangkau ke-empatnya sekaligus.
Langkah awal aku menelpon lowongan sebagai penjaga warnet. Menanyakan dengan jelas lokasinya, patokannya dan mobil untuk menvcpainya. Kebetulan lokasinya berdekatan dengan lowongan sebagai sales. Jadi aku bisa menuju kedua lokasi tanpa harus berputar-putar.
Dua jam kemudian aku menemukan lokasinya. Tapi aku kecewa karena hanya disuruh meninggalkan berkas lamaran saja. Tidak ada wawancara seperti yang aku harapkan. Rasanya tak ada harapan untuk diterima. Maka lamarannya aku ambil kembali dengan alasan kurang lengkap.
Aku kembali mencari wartel.Kali ini menelpon lowongan sebagai sales. Tapi lagi-lagi aku dibuat kecewa karena tertnyata lamaran harus disertai izazah aslli. Sementara aku tidak membawanya.
Kini tinggal dua pilihan, penjaga kue di Mangga besar dan waitress di grogol. Dua tahun yang lalu aku sempat kerja di Jakarta sehingga sediki hapal jalan di Jakarta.
Aku sempat beberapa kali main ke Mall Ciputra dan lowongan sebagai waitress menyebutkan letaknya di belakang Mall Ciputra tentu tidak sulit mencarinya. Sealin itu ditulis langsung kerja sementara di Mangga besar aku belum tahu lokasinya sebelah mana. Dan belum tentu langsung kerja. Mengingat keuanganku semakin menipis maka kuputuskan untuk ke Grogol saja yang langsung kerja.
Ketika kutelpon yang menjawab suara laki-laki dengan logat Jawa yang kental. Aku disuruhnya datang jam tujuh malam, Saat itu baru jam dua siang masih banyak waktu untuk istirahat. Karena perutku mulai kelaparan maka akupun bergegas mencari makan.
Di samping Mall Ciputra dekat kampus Taruma Negara bederet penjual makanan aneka rupa. Setelah berputar-putar membaca nama makanan akhirnya pilihanku jatuh pada gado-gado dan sebotol minuman dingin.
Usai makan aku memutuskan menunggu waktu di toko buku Gramedia yang terletak di lantai lima Mall Ciputra. Aku membaca banyak buku meki tidak sampai selesai. Mulai dari Novel, majalah,dan tabloid gosip.
Puas membaca aku meniggalkan toko buku Gramedia. Saat itu sudah jam enam sore.Keluar dari Mall Ciputra adalah perempatan. Aku memilih jalur yang dilewati busway dalam pencarianku. Aku bertanya pada para pedagang yang berjajar sepanjang jalan dimanakah jalan Daan mogot berada, tapi tak satupun yang tahu letaknya.
Aku menyebrang ke kanan balik lagi ke kiri. Masuk keluar artel untuk menanyakan lletak pastinya.Sang Penerima telpon kali ini wanita. Nada suaranya tidak bersahabat. Ia tidak banyak membantu. Setiap kutanya patokannya ia selalu menjawab. ”tanya aja jalan Daan Mogot, masuk ke dalam, nah diantara ruko-ruko itu kamu cari yang tulisannya Nindya, itulah tempatnya,” begitu selalu jawabnya.
Ada perasaan sedih menyelusup batinku. Hari mulai gelap, lampu-lampu sudah dinyalakan orang –orang sudah pulang beraktivitas sementara aku baru mau memulai. Kendaraan ramai menderu. Namaun aku merasa sepi dan sendiri.Merasa sangat kecil dan tak berarti.
Aku terus berjalan dan bertanya sempat juga timbul rasa takut. Rasa takut berjalan sendirian dan rasa takut menjalani kerja yang aku tidak tahu seperti apa. Rasanya aku ingin pulang saja ;ke tempat kost temanku namun keinginan untuk tidak menginap lagi di kostnya lebih kuat daripada ketakutanku menghadapi kerja yang entah seperti apa.
Akhirnya ada juga yang tahu dimana jalan Daan Mogot berada. Orang itu adalah tukang rokok. Aku sangat berterima kasih padanya. Seumur hidup aku tidak pernah sesenang dan selega saat ini. Semangatku bangkit.
Tak berapa jauh aku melangkah aku menemukan gapura bertuliskan Jalan Daan Mogot. Sesuai petunjuk si penerima telpon aku masuk kedalamnya. Mataku dengan teliti mengawasi satu demi satu bangunan yang aku lewati.
Dan tibalah aku di sana. Lampu merah berkelap-kelip mengelilingi tulisan Nindya. Kalau tadi aku begitu ingin segera menemukannya maka sekarang saat akiu menemukannya aku merasa lebih suka saat mencarinya. Aku jadi teringat pepatah ”Keluar dari kandang buaya masuk ke sarang Harimau”. Seperti itulah aku mengibaratkan diriku saat ini.
Setelah menarik dan mengeluarkan napas dalam-dalam akupun masuk. Jantungku berdebar-debar. Suasana masih sepi. Namun sudah ada beberapa wanita yang memakai baju tank top yang ;sedang asik berdandan. Aku menghampiri yang paling dekat. ”Permisi mbak, saya mau melamar jadi waitress,” kataku pada seorang wanita yang berambut pendek berwarna pirang. Bulu matanmya panjang dan lentik sekali. Di hidungnya yang mancung terdapa sebuah anting.
”Waitress sudah terisi semua. Tinggal bar girl,” jawabnya. Suaranya langsung aku kenal sebagai si penerima telpon.
“Bar girl?” ulangku, aku benar-benar tidak tahu pekerjaannya apa dan baagaimana.
“Iya nemenin tamu.” Ia menjawab rasa ingin tahuku. Sambil terus melanjutkan berdandan tanpa melihat ke arahku. ”Udah dandan sana’” usirnya ketika ia melihatku masih berdiri kebingungan.
Akupun duduk di depannya. Pososi bangkunya seperti di pesawat terbang. Ada kaca besar yang menempel di dinding setiap bangku. Di kaca dalam remang-remang cahaya lampu wajah lelahku tergambar jelas. Aku belum mandi. Rambutku bau matahari. Bedakpun sepertinya enggan melekat di wajahku yang penuh debu setelah seharian keliling Jakarta. Mulai dari kostan temanku di Jakarta utara lalu ke Jakarta timur sekarang aku di Jakarta barat.
Tak lama muncullah Desi, begitu ia mengenalkan adiri. Usianya sekitar tiga puluh tahun. Ada wibawa dari setiap kata-katanya. Tegas dan keras.
”Tugas kamu nemenin tamu. Usahakan aminta minum. Apapun itu jenisnya. Mau bir aatau soft drink terserah. Kita tidak ngasih gaji. Kamu dapat uang dari setiap tamu yang kamu temenin. Dan itu kamu minta sendiri atau dikasih oleh tamunya. Kalau kamu bisa diajak tidur taripnya seratus enam puluh ribu. Enam puluh ribu buat kamar seratus ribu buat kamu. Bersih tanpa potongan. Lantai dua diskotik kalau kamu tidak dapat tamu di sini kamu bisa ke lantai dua. Lantai tiga tempat check in. Dan lantai empat mess.Kamu bisa tinggal di mess kalau mau. Gratis.Apa semuanya jelas,” tanyanya.
Aku mengangguk.
”Ok kamu diterima. Mari aku kenalkan sama teman-teman kamu yang lain,” ajaknya.
Entah apa yang akan terjadi padaku malam ini. Namun satu yang sudah pasti satu lowongan kerja di Jakarta sudah terisi.
* * *

No comments: